dunia kecilku

you’ll never walk alone

Hujan Es

KEPALA Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Bandung Hendri Surbakti menjelaskan hujan es merupakan fenomena biasa di musim pancaroba. Meski tidak terjadi di semua wilayah, peristiwa ini sangat mungkin terjadi ketika pergeseran musim hujan ke kemarau.

Butiran-butiran es tak hanya seukuran biji jeruk, tapi rata-rata seukuran kelereng. Jumlahnya banyak sekali. Selama lebih kurang lima menit saya terpaku mendengar atap rumah seperti diguyur ribuan kelereng. Suaranya riuh sekali.

Di jalanan depan rumah butiran-butiran es menghampar sebelum lumer bercampur air hujan. Bahkan dua butiran es kira-kira seukuran jempol orang dewasa menghantam dan melubangi atap polycarbonat di bagian belakang rumah. Tentu saja ini fenomena luar biasa menurut saya.

Kemarin, Senin (31/3), giliran pusat Kota Bandung kena amuk. Angin sangat kencang di tengah hujan merobohkan pepohonan di setidaknya tiga titik berbeda. Di sepanjang Jalan Dago ada dua titik. Di Simpang Dago dan depan RS Borromeus. Satu lagi pohon tumbang di Jalan Boscha.

Iklim dan cuaca di dua tahun terakhir ini yang saya rasakan memang cenderung ekstrem. Hawa udara di Bandung sendiri selama beberapa tahun terakhir rasa-rasanya cenderung makin panas dan sumpek, siang maupun malam.

Selain faktor pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, lahan hijau yang menyempit, jumlah kendaraan bermotor yang naik tajam, kenaikan suhu ini akibat dampak pemanasan global. Tak hanya Bandung, nyaris semua wilayah di bumi ini mengalami perubahan cuaca dan suhu.

Selain soal-soal di atas, Kota Bandung sendiri mengalami fase transisi menyusul banyaknya pohon perindang jalan yang mati, atau ditebang karena kondisinya membahayakan masyarakat. Tak heran, di sejumlah ruas jalan kini lebih benderang karena pepohonan sudah dialmarhumkan.

Upaya penanaman kembali pohon pengganti oleh pemerintah Kota Bandung ada. Tapi butuh waktu belasan tahun kita bisa melihat jalanan di kota ini kembali penuh rerimbunan. Belum lagi faktor pemeliharaan jauh lebih sulit di tengah kultur masyarakat yang tak pro lingkungan.

Musim yang sebentar masuk kemarau, tak mustahil akan membunuh pohon-pohon muda yang baru saja ditanam jika perawatan dan penjagaannya dilakukan setengah-setengah. Sementara problem klasik yang selalu diungkapkan pihak berwenang adalah keterbatasan anggaran.

Karena itu upaya kecil dari level rumah tangga akan jadi kata kunci untuk menghadapi tantangan suaca dan iklim ke depan yang bakal makin ekstrem. Antara lain menumbuhkan kesadaran pro lingkungan, pro tanaman, pro sampah.

Sehingga jika di luar kita tak menemukan solusi atas ruwetnya problem lingkungan, setidaknya di rumah kita bisa menikmati rerimbunan pohon, hijauan kembang dan tanaman hias. Selain menjadi obat penat setelah seharian bekerja, juga membantu oksigen yang kita hirup lebih segar. (Tribun Jabar, 1 April 2008)

April 4, 2008 - Posted by | kolom

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar