abu dujana: teroris ada di sekitar kita
UNTUK ke sekian kalinya publik Indonesia diperingatkan tentang perlunya kewaspadaan level tinggi terkait keamanan lingkungan. Peringatan itu datang lewat operasi penggerebekan anggota kelompok teroris di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Dalam dua hari aparat keamanan menggangsir sejumlah lokasi, menciduk setidaknya lima orang yang diduga kuat anggota kelompok Abu Dujana alias Aenul Bahri. Yusron Mahmudi diciduk di Kebumen, Aris Widodo digerebek di rumahnya di Karanganyar.
Tiga lainnya, Sigit, Suharyanto, dan Adi Saputro diringkus dari beberapa lokasi di Sleman. Dari deskripsi kejadian, terlihat adanya keseragaman terkait reaksi orang-orang di sekitar tempat tinggal mereka.
Umumnya orang-orang yang ditangkap ini pendiam, pergaulannya terbatas, pekerjaan di sektor informal, rental atau reparasi komputer, rumah yang ditinggali kontrakan dan kondisinya sederhana.
Sekalipun pergaulan terbatas, mereka tetap mencoba melebur ke tengah lingkungan dengan caranya masing-masing. Ini pula yang sebelum-sebelumnya sukses dilakukan buron- buron terorisme sebelum tewas atau tertangkap hidup.
Ini membuktikan jaringan terorisme di Indonesia benar-benar menerapkan teori perang gerilya dengan strategi dasar intelijen yang cukup. Belum tertangkapnya Noordin Mohd Top juga membuktikan kokohnya jejaring kelompok ini.
Di sisi lain fakta ini menunjukkan satu sifat khas masyarakat Indonesia yang begitu toleran dan tidak sensitif. Kultur ini membuat organisasi teror yang menerapkan sistem jaringan sel leluasa bergerak dan menjalankan operasinya.
Sebetulnya dari banyak pengalaman sudah bisa memberikan pelajaran bagaimana masyarakat harus mengambil sikap. Kepekaan harus tajam karena dengan strategi gerilya itu teroris benar-benar hidup dan tinggal di sekitar kita.
Bandung pernah geger sewaktu polisi menggerebek lingkungan kos-kosan mahasiswa di Tamansari. Ternyata berbulan-bulan almarhum Dr Azahari bin Husin dan komplotannya bermukim dan merancang aksi maut ke JW Marriot Hotel dan Kedubes Australia dari Bandung.
Para pemilik dan penghuni kos yang ditinggali Azahari dkk baru terbengong-bengong sesudahnya karena tak menyangka orang yang pernah makan bareng, salat, bercakap-cakap dengan mereka adalah pelaku terorisme yang dicari-cari.
Aparat keamanan, terutama polisi di garda depan, kita akui mengalami kemajuan besar dalam kampanye global perang melawan terorisme. Terutama jangkauan mereka terhadap kelompok-kelompok kecil teroris yang membaur di tengah masyarakat.
Dengan posisi ini, tentu saja banyak yang berharap polisi tidak lagi melakukan langkah- langkah yang kontraproduktif. Misalnya menggunakan kekerasan yang tidak perlu dan atau mengabaikan prosedur pro justitia.
Persepsi publik biasanya akan berbalik drastis manakala perburuan teroris dilakukan membabibuta, bahkan sampai salah sasaran dengan menimbulkan korban yang tidak perlu terjadi.
Pendekatan lebih kultural ke masyarakat atau orang-orang di jaringan teror yang berniat tobat, lebih bermanfaat ketimbang ciduk sana ciduk sini, tembak sana tembak sini, padahal itu tak mesti dilakukan.
Che Guevara, legenda gerilya di Amerika Selatan pernah mengingatkan soal taktik intelijen yang digunakan dalam peperangan. “Informasi akan mengalir ke arah ke mana simpati rakyat diberikan.” Petuah ini rasa-rasanya masih kontekstual.
1 Komentar »
Tinggalkan Balasan
-
Recent
-
Tautan
-
Arsip
- Oktober 2008 (3)
- Juli 2008 (1)
- Juni 2008 (2)
- April 2008 (1)
- Maret 2008 (2)
- Februari 2008 (7)
- November 2007 (10)
- Oktober 2007 (8)
- September 2007 (7)
- Agustus 2007 (17)
- Juli 2007 (7)
- Juni 2007 (5)
-
Kategori
-
RSS
Entries RSS
Comments RSS
mati kau keparattt
dasar anjing pengcau negara
mereka kira mereka itu orang-orang jihad
padahal orang-orang jahad
anjing abu dujana semoga neraka jahannam memakan tubuhmu
allahu akbar……………..